MENGAGUNGKAN KEHORMATAN-KEHORMATAN KAUM MUSLIMIN
DAN URAIAN TENTANG HAK-HAK MEREKA SERTA KASIH SAYANG
DAN BELAS KASIHAN KEPADA MEREKA
Allah Ta'ala berfirman:
"Dan barangsiapa yang mengagungkan peraturan suci dari Allah, maka itulah yang lebih baik
baginya di sisi Tuhannya." (al-Haj: 30)
Allah Ta'ala berfirman pula:
"Dan barangsiapa yang mengagungkan tanda-tanda suci - yakni agama Allah, maka
sesungguhnya perbuatan sedemikian itu adalah karena ketaqwaan hati." (al-Haj: 32)
Lagi Allah Ta'ala berfirman:
Dan tundukkantah sayapmu - bersikap sopan santunlah -dap kaum mu'minin" (al-Hijr: 88)
Allah Ta'ala juga berfirman:
"Barangsiapa yang membunuh seseorang manusia bukan karena sebagai hukuman membunuh
orang atau dengan sebab membuat kerusakan di bumi - merampok dan lain-lain, maka ia seolah-olah
membunuh manusia seluruhnya dan barangsiapa memelihara kehidupan seseorang manusia, maka
seolah-olah ia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya." (al-Maidah: 32)
223. Dari Abu Musa r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Seorang mu'min
terhadap mu'min yang lain itu adalah sebagai bangunan yang sebagiannya mengokohkan
kepada bagian yang lainnya," dan beliau s.a.w. menjalinkan antara jari-jarinya." (Muttafaq 'alaih)
Keterangan:
Dalam menguraikan Hadis di atas. Imam al-Qurthubi berkata sebagai berikut:
"Apa yang disabdakan oleh Rasulullah s.a.w. itu adalah sebagai suatu tamsil
perumpamaan yang isi kandungannya adalah menganjurkan dengan sekeras-kerasnya agar
seorang mu'min itu selalu memberikan pertolongan kepada sesama mu'minnya, baik per-
tolongan apapun sifatnya (asal bukan yang ditujukan untuk sesuatu kemungkaran), Ini
adalah suatu perintah yang dikokohkan yang tidak boleh tidak, pasti kita laksanakan.
Perumpamaan yang dimaksudkan itu adalah sebagai suatu bangunan yang tidak
mungkin sempurna dan tidak akan berhasil dapat dimanfaatkan atau digunakan, melainkan
wajiblah yang sebagian dari bangunan itu mengokohkan dan erat-erat saling pegang-
memegang dengan yang bagian lain. Jikalau tidak demikian, maka bagian-bagian dari
bangunan itu pasti berantakan sendiri-sendiri dan musnahlah apa yang dengan susah payah didirikan.
Begitulah semestinya kaum Muslimin dan mu'minin antara yang seorang dengan yang
lain, antara yang sekelompok dengan yang lain, antara yang satu bangsa dengan yang lain.
Masing-masing tidak dapat berdiri sendiri, baik dalam urusan keduniaan, keagamaan dan
keakhiratan, melainkan dengan saling tolong-menolong, bantu-membantu serta kokoh-
mengokohkan. Manakala hal-hal tersebut di atas tidak dilaksanakan baik-baik, maka jangan
diharapkan munculnya keunggulan dan kemenangan, bahkan sebaliknya yang akan terjadi,
yakni kelemahan seluruh ummat Islam, tidak dapat mencapai kemaslahatan yang
sesempurna-sempurnanya, tidak kuasa pula melawan musuh-musuhnya ataupun menolak
bahaya apapun yang menimpa tubuh kaum Muslimin secara keseluruhan. Semua itu
mengakibatkan tidak sempurnanya ketertiban dalam urusan kehidupan duniawiyah, juga
urusan diniyah (keagamaan) dan ukhrawiyah. Malahan yang pasti akan ditemui ialah
kemusnahan, malapetaka yang bertubi-tubi serta bencana yang tiada habis-habisnya.
224. Dari Abu Musa r.a. juga, katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Barangsiapa yang berjalan di sesuatu tempat dari masjid-masjid kita atau pasar-pasar
kita sedang ia membawa anak-anak panah, maka hendaklah memegang atau menutupi
ujung-ujungnya dengan tapak tangannya, sebab dikuatirkan akan mengenai seseorang dari
kaum Muslimin dengan sesuatu yang dibawanya tadi." (Muttafaq 'alaih)
225. Dari an-Nu'man bin Basyir radhiallahu 'anhuma, katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Perumpamaan kaum Mu'minin dalam hal saling sayang-menyayangi, saling kasih-
mengasrhi dan saling iba-mengibai itu adalah bagaikan sesosok tubuh. Jikalau salah satu
anggota dari tubuh itu ada yang merasa sakit, maka tertarik pula seluruh tubuh - karena ikut
merasakan sakitnya - dengan berjaga - tidak tidur - serta merasa panas." (Muttafaq 'alaih)
226. Dari Abu Hurairah r.a., katanya: "Nabi s.a.w. mencium al-Hasan bin Ali
radhiallahu 'anhuma dan di dekat beliau s.a.w. itu ada seorang bernama al-Aqra' bin Habis,
lalu al-Aqra'berkata: "Saya ini mempunyai sepuluh orang anak, belum pernah saya mencium
seseorangpun dari mereka itu." Rasulullah s.a.w. lalu memperhatikan orang itu, kemudian
bersabda: "Barangsiapa yang tidak menaruh belas kasihan - kepada sesamanya, maka tidak
drbelas kasihani - oleh Allah." (Muttafaq 'alaih)
227. Dari Aisyah radhiallahu 'anha, katanya: "Ada beberapa orang dari kalangan A'rab
- Arab pedalaman - datang kepada Rasulullah s.a.w., lalu mereka berkata: "Adakah Tuan
suka mencium anak-anak Tuan?" Beliau s.a.w. menjawab: "Ya." Mereka berkata: "Tetapi kita
semua ini, demi Allah tidak pernah mencium anak-anak itu." Kemudian Rasulullah s.a.w.
bersabda: "Adakah saya dapat mencegah sekiranya Allah telah mencabut sifat belas kasihan
itu dari hatimu semua." (Muttafaq 'alaih)
228. Dari Jarir bin Abdullah, r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Barangsiapa yang tidak menaruh belas-kasihan kepada sesama manusia, maka Allah
juga tidak menaruh belas-kasihan padanya." (Muttafaq 'alaih)
229. Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Jikalau seseorang dari engkau semua bersembahyang menjadi imamnya orang
banyak, maka hendaklah meringankannya, sebabdi kalangan para makmum itu ada orang
lemah, ada orang sakit dan ada pula yang berusia tua. Tetapi jikalau bersembahyang
sendirian -munfarid, maka hendaklah memperpanjangkan shalatnya itu sekehendak
hatinya." (Muttafaq 'alaih)
Dalam riwayat lain disebutkan: "Di kalangan makmum itu juga ada orang yang
mempunyai keperluan - yang hendak segera diselesaikan."
230. Dari Aisyah radhiallahu 'anha, katanya: "Sesungguhnya saja Rasulullah s.a.w. itu
niscaya meninggalkan - tidak melakukan -suatu amalan,sedangkan beliau amat suka
mengerjakan amalan itu dan ditinggalkannya tadi adalah karena takut kalau orang-orang
akan mengamalkan itu, sehingga akan menyebabkan diwajibkannya amalan tersebut atas
mereka." (Muttafaq 'alaih)
231. Dari Aisyah radhiallahu 'anha juga, katanya: "Nabi s.a.w. melarang para sahabat
melakukan puasa wishal - tidak berbuka dalam malam hari puasa, sehingga dua hari puasa
dijadikan satu dan terus berpuasa saja. Larangan ini adalah karena belas-kasihan kepada
mereka. Para sahabat bertanya: "Sesungguhnya Tuan sendiri suka berpuasa wishal." Beliau
s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya saya ini tidaklah seperti keadaanmu semua, karena
sesungguhnya saya ini diberi makan serta minum oleh Tuhanku." (Muttafaq 'alaih)
Artinya ialah: Saya itu diberi kekuatan seperti orangyang makan dan minum.
232. Dari Abu Qatadah yaitu al-Harits bin Rib'i r.a. katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Sesungguhnya saya berdiri untuk bersembahyang dan saya bermaksud hendak
memperpanjangkannya, kemudian saya mendengar tangisnya seorang anak kecil, lalu saya
peringankan shalatku itu karena saya tidak suka membuat kesukaran kepada ibunya."
(Riwayat Bukhari)
233. Dari Jundub bin Abdullah r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Barangsiapa yang bersembahyang Subuh, maka ia adalah di dalam tanggungan Allah,
maka itu janganlah sampai Allah itu menuntut kepadamu semua dengan sesuatu dari
tanggunganNya - maksudnya jangan sampai mengerjakan kemaksiatan, jangan sampai
meninggalkan shalat Subuh, juga shalat-shalat fardhu yang lain, apalagi kalau ditambah
dengan mengerjakan berbagai kemungkaran, kemaksiatan dan lain-lain lagi, 23 sebab kalau
demikian, maka lenyaplah ikatan janji untuk memberikan tanggungan keamanan dan lain-
lain antara engkau dengan Tuhanmu itu."
Sebab sesungguhnya barangsiapa yang dituntut oleh Allah dari sesuatu
tanggunganNya, tentu akan dicapainya - yakni tidak mungkin terlepas - kemudian Allah
akan melemparkannya atas mukanya dalam neraka Jahanam." (Riwayat Muslim)
Keterangan:
Uraian yang tertera di atas itu adalah penafsiran menurut Imam at-Thayyibi.
Ada pendapat lain dari sebagian para alim ulama menyatakan bahwa maksud Hadis itu ialah:
Jangan sampai kamu semua mengerjakan sesuatu yang sifatnya sebagai gangguan
kepada orang yang selalu mengerjakan shalat subuh itu dan dengan sendirinya juga shalat-
shalat fardhu yang lain, sekalipun gangguan itu tampaknya remeh atau tidak berarti.
Dalam Hadis lain yang juga diriwayatkan oleh Imam Muslim ialah bahwa yang
dikerjakan itu adalah shalat Subuh dengan berjamaah.
Dari kedua macam pendapat di atas, kita dapat menarik kesimpulan, iaitu:
(a) Seruan keras kepada kita sekalian kaum Muslimin, agar jangan sekali-kali kita
meninggalkan atau melalaikan shalat lima waktu, agar kita senantiasa memperoleh rahmat
Allah Ta'ala dan tiada seorangpun yang berani mengganggu kita, karena Allah telah
memberikan jaminan sedemikian itu kepada kita.
(b) Kita yang sudah mengenal kepada seseorang yang keadaan dan sifatnya
sebagaimana di atas, jangan sekali-kali kita ganggu, baik dengan lisan atau perbuatan,
dengan sengaja atau tidak, juga secara senda-gurau atau tidak. Ringkasnya orang tersebut
wajib kita hormati, kita muliakan dan kita ikut melindungi keselamatannya dari perbuatan
orang lain yang hendak mengganggunya, sebab ia telah berada dalam jaminan Allah Ta'ala
dan menjadi tanggunganNya, untuk mendapatkan ketenteraman, keselamatan dan kesejahteraan.
(c) Orang yang berani mengganggu orang sebagaimana di atas itu, berarti menghina
pada jaminan atau dzimmah Allah Ta'ala yang telah diberikan kepadanya dan oleh sebab itu
maka patutlah apabila dilemparkan saja nanti di akhirat dalam neraka dalam keadaan
tertelungkup yakni mukanya di bawah.
Betapa besar meresapnya Hadis di atas itu dalam kalbu kaum Muslimin, dapatlah
kami kutipkan sebagian keterangan yang ditulis oleh Imam as-Sya'rani dalam kitab al-Haudh,
demikian intisarinya:
"Di zaman Bani Umayyah memerintah kaum Muslimin, yaitu sepeninggalnya Khulafa'
Rasyidin, ada seorang gubernur yang diangkat oleh mereka untuk memerintahdan
mengamankan daerah Kufah dan sekitarnya. Gubernur tersebut bernama al-Hajjaj yang
terkenal kejam, zalim dan bengis. Banyak alim-ulama yang ia bunuh secara teraniaya atau
perintahnya. Namun demikian, manakala ada orang yang dicurigai hendak melawan atau
menggulingkan kekuasaan dinasti Umayyah dan orang itu sudah menghadap di mukanya
sesudah dipanggil, biasanya al-Hajjaj bertanya kepadanya: "Apakah anda tadi
bersembahyang Subuh?" Jika dijawab: "Ya," maka orang yang hendak dipenggal lehernya itu
dilepaskan kembali. Al-Hajjaj amat takut sekali terlaknat atau mendapatkan azab Allah,
sebab ia tentunya juga pernah membaca atau mendengar Hadis sebagaimana yang tersebut di atas itu."
Kufah kini masuk Republik Irak.
234. Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Seorang Muslim adalah saudaranya orang Muslim lainnya. Janganlah ia
menganiayanya, jangan pula menyerahkannya kepada musuhnya.
"Barangsiapa memberi pertolongan akan hajat saudaranya, maka Allah selalu
menolongnya dalam hajatnya. Dan barangsiapa memberi kelapangan kepada seseorang
muslim dari sesuatu kesusahan, maka Allah akan melapangkan orang itu dari sesuatu
kesusahan dari sekian banyak kesusahan pada hari kiamat. Dan barangsiapa menutupi cela
seseorang Muslim, maka Allah akan menutupi cela orang itu pada hari kiamat." (Muttafaq 'alaih)
235. Dari Abu Hurairah r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Seorang Muslim adalah saudaranya orang Muslim yang lain. Janganlah ia berkhianat
kepada saudaranya itu dan jangan pula mendustainya, juga jangan menghinakannya - juga
enggan memberikan pertolongan padanya bila diperlukan. Setiap Muslim terhadap Muslim
lainnya itu adalah haram kehormatannya - tidak boleh dinodai, haram hartanya - tidak boleh
dirampas - dan haram darahnya - tidak boleh dibunuh tanpa dasar kebenaran.
Ketaqwaan itu di sini - dalam hati. Cukuplah seseorang itu menjadi orang jelek, jikalau
ia menghinakan saudaranya yang sama Muslimnya."
Diriwayatkan oleh Imam Termidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah Hadis hasan.
236. Dari Abu Hurairah r.a. pula, katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Janganlah engkau semua hasad-menghasad, jangan pula kicuh-mengicuh, jangan
benci-membenci, jangan seteru-menyeteru dan jangan pula setengah dari engkau semua itu
menjual atas jualannya orang lain. Dan jadilah hamba Allah sebagai saudara.
Seorang Muslim itu adalah saudara orang Muslim yang lain. Janganlah ia menganiaya
saudaranya, jangan merendahkannya dan jangan menghinakannya - enggan
memberikan pertolongan padanya. Ketaqwaan itu ada di sini - dan beliau menunjuk ke arah
dadanya sampar tiga kali. Cukuplah seseorang itu menjadi orang jelek, jikalau ia
menghinakan saudaranya sesama Muslimnya. Setiap orang Muslim terhadap orang Muslim
yang lain itu haram darahnya, hartanya dan kehormatannya." (Riwayat Muslim)
Annaj-syu atau mengicuh ialah apabila seseorang itu menambah harga sesuatu barang
dagangan lebih dari yang diumumkan di pasar atau lain-lain sebagainya,sedangkan ia tidak
ada keinginan hendak membelinya. Tetapi ia berbuat demikian itu semata-mata akan menipu
orang lain saja. Perbuatan semacam ini haram hukumnya.
Tadabbur ialah jikalau seseorang tidak menghiraukan orang lain, meninggalkan
berbicara dengannya dan menganggap orang itu sebagai benda yang ada di belakang
punggung atau duburnya.
Keterangan:
Ada beberapa kelakuan buruk yang diperhatikan oleh Rasulullah s.a.w. agar kita
semua menjauhinya. Di antaranya ialah:
1. Hasad, dengki atau irihati.
2. Mengicuh ialah mengatakan pada seseorang dengan harga tinggi atau mengatakan
bahwa ia telah menawar sekian, tetapi belum diberikan. Padahal sebenarnya tidak dan
berbuat sedemikian itu perlu menjerumuskan orang lain agar suka membeli dengan harga
tinggi itu dan ia sendiri akan menerima sebagian keuntungan dari penjualannya itu nanti.
3. Benci-membenci.
4. Seteru-menyeteru.
5. Menjual atas jualannya orang lain yakni seperti seorang pedagang yang berkata
kepada seorang pembeli: "Jangan jadi beli di sana dan saya mempunyai barang yang
mutunya lebih baik dan harganya lebih murah. Belilah kepada saya saja."
Demikian pula kalau ada seseorang yang berkata kepada seorang pedagang: "jangan
jadi dijual pada si A itu dan saya suka membeli itu dengan harga yang lebih tinggi dari
penawarannya."
Semua itu dilarang oleh beliau s.a.w. Tidak lain kepentingannya agar kita sesama
makhluk Allah ini dapat hidup rukun dan damai. Hal ini bukan hanya untuk digunakan
antara seseorang menghadapi orang lain, tetapi juga antara golongan dengan golongan
lainnya, juga antara satu bangsa dengan bangsa lainnya. Kalau saja ini dilaksanakan, rasanya
tidak perlu lagi membicarakan bagaimana perdamaian dunia dapat diciptakan, sebab
masing-masing dapat menghormati yang fainnya.
Jikalau ajaran di atas itu harus digunakan untuk umum, tanpa pandang bulu,
kebangsaan, agama, faham peribadi dan lain-lain maka yang di bawah ini ditekankan oleh
Rasulullah s.a.w., terutama sekali antara kita sesama ummat Islam, yaitu seorang Muslim
wajiblah menunjukkan sikap persaudaraan terhadap Muslim lainnya tanpa memandang
golongannya, bermazhab atau tidaknya, kepartaiannya dan lain-lain lagi. Maka itu kita
semua diperintah oleh Rasulullah s.a.w. jangan sampai melakukan:
(a) Menganiaya, lebih-lebih merampas haknya.
(b) Membiarkan kawannya, padahal memerlukan pertolongan, nasihat dan lain-lain sebagainya.
(c) Mendustai.
(d) Menghina.
Singkatnya semua itu wajib didasarkan kepada taqwallah yang ditunjukkan oleh
beliau s.a.w. bahwa letak taqwa itu bukan di bibir, bukan dengan pernyataan terbuka atau
tertulis, bukan dengan ucapan yang kosong melompong, tetapi letaknya ialah di dalam hati
lalu dicetuskan dalam tindakan yang nyata. Oleh sebab itu dianggap demikian pentingnya,
sehingga beliau s.a.w. mengucapkan taqwa tadi dengan menunjukkan letaknya yaitu di
dalam dada atau hati dan itu diulanginya sampai tiga kali berturut-turut.
Akhirnya Rasulullah s.a.w. menegaskan bahwa seseorang itu cukup disebut orang
jahat kalau sampai menghinakan sesama Muslimnya dengan cara apapun juga seperti
perkataan, isyarat tangan, cibiran bibir dan lain-lain ataupun dengan dalih atau alasan apapun.
Juga antara seorang Muslim dengan Muslim lainnya itu sama sekali diharamkan
mengalirkan darahnya, merampas haknya atau merusak kehormatannya.
Kalau saja ajaran agama ini tidak dilaksanakan, mustahillah kalau ummat Islam akan
dapat merebut kejayaannya sebagaimana nenek moyangnya dahulu. Bukan mustahil lagi,
tetapi yakin akan dapat diperoleh.
Ada satu hal yang perlu dimaklumi, sehubungan dengan larangan yang berbunyi:
"Jangan kamu semua menjual atas jualannya orang lain": Pertanyaannya ialah: Apakah
menjual cara lelang itu haram?
Jual lelang itu maksudnya ialah menunjukkan suatu benda lalu ditawarkan kepada
orang banyak. Seorang menawar lalu ada yang menambah dengan harga lebih tinggi, orang
lain lagi menambahnya pula. Demikian sampai tidak ada yang mengatasinya, kemudian
benda itu diberikan kepada orang yang menawar dengan harga tertinggi. Hukum lelang itu
dalam Islam diperbolehkan dan bukan haram, dengan berdasarkan suatu Hadis yang
mengisahkan perbuatan Rasulullah s.a.w. sendiri, yaitu:
Suatu ketika datanglah seorang yang sedang dalam kesukaran hidup kepada Nabi
s.a.w. untuk meminta sesuatu kepadanya, tetapi beliau s.a.w. menolaknya karena memang
tidak ada yang dapat diberikan padanya. Orang itu mengatakan bahwa ia masih mempunyai
dua benda yang dapat dijual, yaitu lapik pelana dan gelas minum. Keduanya dibawa ke
tempat Nabi s.a.w. lalu ditawarkan kepada sahabat-sahabatnya demikian:
"Siapakah yang suka membeli lapik kuda dan gelas ini?"
Kemudian ada seorang yang berkata: "Saya suka mengambil (membeli) kedua benda
itu dengan harga sedirham. Beliau s.a.w. lalu bersabda lagi:
"Siapakah yang suka menambah dengan sedirham?"
Orang-orang sama berdiam diri. Lalu beliau s.a.w. bertanya lagi seperti di atas.
Selanjutnya ada seorang yang berkata: "Saya suka mengambil (membeli) keduanya
dengan harga dua dirham."
Rasulullah lalu bersabda:
"Kedua benda ini milikmu."
Jadi cara jual beli lelangan bukannya termasuk larangan sebagaimana di atas. Maka
hukumnya boleh dilakukan.
237. Dari Anas r.a. dari Nabi s.a.w., sabdanya: "Tidaklah sempurna keimanan
seseorang dari engkau semua itu, sehingga ia mencintai untuk diterapkan kepada
saudaranya sebagaimana ia mencintai kalau itu diterapkan untuk dirinya sendiri." (Muttafaq 'alaih)
238. Dari Anas r.a. juga, katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Tolonglah saudaramu
itu, baik ia sebagai orang yang menganiaya atau yang dianiaya." Ada seorang lelaki bertanya:
"Ya Rasulullah, saya dapat menolongnya jikalau ia memang dianiaya. Tetapi bagaimanakah
pendapat Tuan, jikalau ia sebagai orang yang menganiaya? Bagaimanakah cara saya
menolongnya itu?" Beliau s.a.w. menjawab: "Hendaklah ia engkau cegah atau engkau larang
dari perbuatan penganiayaannya itu, sebab demikian itulah cara menolongnya." (Riwayat Bukhari)
239. Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Haknya seorang Muslim terhadap orang Muslim yang lain itu ada lima perkara yaitu
menjawab salam, meninjau yang sakit, mengikuti jenazahnya, mengabulkan undangannya
dan bertasymit kepada yang bersin - yakni kalau seseorang bersin dan mengucapkan
Alhamdulillah, maka yang mendengar hendaklah mentasymitkan - mendoakan - dengan
mengucapkan: Yarhamukalhh, artinya: Semoga Allah merahmatimu, kemudian yang bersin itu
menjawab: Yahdikumullah wa yushtihu balakum, artinya: Semoga Allah memberi petunjuk
padamu dan memperbaiki hatimu." (Muttafaq 'alaih)
Dalam riwayat Muslim disebutkan demikian:
"Hak seorang Muslim terhadap orang Muslim lainnya itu ada enam perkara, yaitu
jikalau engkau bertemu dengannya, maka berilah salam kepadanya, jikalau ia
mengundangmu, maka kabulkanlah undangannya, jikalau ia meminta nasihat kepadamu,
maka berilah ia nasihat, jikalau ia bersin kemudian mengucapkan Alhamdulillah, maka
tasymitkanlah ia, jikalau ia sakit, tinjaulah ia dan jikalau ia meninggal dunia, maka ikutilah jenazahnya."
(Riwayat Muslim)
240. Dari Abu Umarah, yaitu al-Bara' bin 'Azib radhiallahu 'anhuma, katanya:
"Rasulullah s.a.w. menyuruh kita melakukan tujuh perkara dan melarang kita tujuh perkara
pula. Kita semua diperintah meninjau orang sakit, mengikuti jenazah, mentasymitkan orang
yang bersin, menuruti orang yang bersumpah - misalnya seseorang berkata kepada kita:
Demi Allah, hendaklah engkau begini, maka orang yang diminta melakukannya itusupaya
meluluskan permintaannya, menolong orang yang dianiaya, mengabulkan undangan orang
yang mengundang, serta menyebarkan salam -kepada orang yang sudah dikenal atau yang
belum dikenal. Beliau s.a.w. melarang kita mengenakan cincin yakni bercincin emas -untuk
kaum lelaki, minum dengan wadah yang terbuat dari perak, hiasan-hiasan sutera merah - ini
kebiasaannya saja, jadi selain merah dilarang pula untuk kaum lelaki, juga mengenakan baju
sutera campur katun, lagi pula mengenakan sutera istabraq - sutera tebal - dan dibaj -
umumnya sutera murni." (Muttafaq 'alaih)
Dalam suatu riwayat disebutkan: "Diperintahkan pula mengumumkan benda yang
hilang." Ini ditambahkan dalam golongan tujuh yang pertama yakni yang diperintahkan.
Almayatsir, dengan ya' mutsannat 24 di bawah sebelumnya ada alifnya dan tsa'
mutsallatsah sesudahnya, adalah jamak dari kata maitsarah. Artinya ialah sesuatu hiasan yang
dibuat dari sutera dan di isi dengan kapuk ataupun lain-lainnya, lalu diletakkan di tempat
kenaikan kuda atau tempat duduk di unta yang di situlah pengendaranya duduk.
Alqassiy dengan fathah qafnya dan dikasrahkan sin muhmalah 25 yang disyaddah,
artinya ialah pakaian yang dibuat sebagai tenunan dari sutera dan katun yang dicampurkan.
Insyadudh-dhallah, yaitu mengumumkan sesuatu yang hilang, untuk dikembalikan
kepada pemiliknya.
23 Jadi yang sudah bersembahyang Subuh dan dengan sendirinya mengerjakan shalat fardhu lain-lain yang
diwajibkan yaitu dengan Subuhnya sekali berjumlah lima waktu itu, jangan sampai berbual sesuatu keburukan
yang berupa apapun. Sebabnya ialah dengan berbuat keburukan yang bagaimanapun macamnya adalah
sebagai suatu penghinaan pada shalatnya sendiri yang semestinya dapat mencegah segala kejahatan dan
kemungkaran. Oleh sebab itu besar sekali siksaan Allah padanya, jika orang yang sudah bersembahyang itu
masih juga berani melakukan hal-hal yang berdosa itu.
24 "Mutsannat", artinya bertitik dua, adakalanya: Minfawqu (di atas lalu menjadi ta') dan adakalanya: Min tahtu
(di bawafi lalu menjadi ya'). "Mutsailatsah", artinya bertitik tiga, sedang "Muwahhadah", artinya bertitik satu.
Ini dua macam, jika di atas lalu menjadi ba'dan jika di bawah lalu menjadi nun.
25 "Muhmalah", artinya dikosongkan, maksudnya tidak bertitik. Kebalikannya ialah "Mu'jamah," yaitu bertitik.
"Musyaddadah," ertinya disyaddahkan, sedang kebalikannya ialah "Mukhaffafah," ertinya tidak disyaddahkan.
Erti aslinya musyadadah itu di beratkan dan mukhaffafah itu diringankan.
Riyadhus Shalihin – Taman Orang-orang Shalih
Terjamahan dari Kitab Riyadush Shalihin, Al-Quran Dan Kumpulan Hadits, Situs Pondok Pesantren, Artikel-artikel Islami.